Rabu, 13 Januari 2010

Dilema Wirausahawan: Beberapa Hambatan Psikologis

Bagi seorang atau sekelompok wirausahawan, salah satu dilema yang umum dihadapi ketika perusahaannya menjadi berkembang adalah pilihan dalam menentukan gaya bisnis apa yang sebaiknya diterapkan di dalam manajemennya. Ketika perusahaan masih berskala kecil, manajemen keluarga masih bisa digunakan, tetapi semakin lebar perkembangan usaha maka gaya manajemen pun harus berkembang karena tidak lagi mampu dikelola oleh anggota keluarga. Banyak wirausahawan yang memilih untuk tidak mengembangkan perusahaan karena mereka tidak ingin kehilangan kemampuan untuk mengendalikan perusahaan yang dimilikinya. Bagi sebagian orang mengembangkan usaha lebih lanjut berarti harus merelakan dirinya untuk berbagi "kuasa" dan tanggungjawab kepada orang lain yang dianggap profesional. Disinilah dilema mulai terjadi, karena disatu sisi si wirausahawan ingin tetap memegang kendali usaha tetapi di sisi lain dia dihadapkan pada beberapa keterbatasan yang membuatnya tidak dapat lagi mengontrol semua hal dalam perusahaannya. Pertanyaan yang layak kita ajukan kemudian adalah mengapa para wirausahawan cenderung menjadi ragu untuk mengubah gaya manajemen keluarga menjadi manajemen profesional? Hambatan-hambatan apa yang menjadi penghalang bagi wirausahawan untuk menyerahkan kendali perusahaan kepada para profesional yang diperkerjakannya? Artikel ini ditulis dalam rangka mencoba menjawab hal-hal tersebut.Manajemen Keluarga vs Manajemen ProfesionalGaya bisnis dengan manajemen keluarga pada umumnya diterapkan pada awal berdirinya perusahaan karena memang kebutuhan akan gaya ini masih terasa sangat kental. Modal dan kegiatan usaha umumnya masih terbatas dan masih mampu ditangani oleh pemilik dan keluarganya. Karyawan yang direkrut dan dipekerjakan masih berkisar pada mereka yang berfungsi sebagai pembantu kegiatan operasional rutin dan bukan sebagai pemecah-masalah (problem solver) atau pembuat keputusan (decision maker). Strategi perusahaan tidak rumit, hanya sebatas bagaimana caranya mempertahankan kelangsungan bisnis dan tetap menghasilkan keuntungan. Manajemen hanya merupakan pengelolaan sumberdaya sederhana, tanpa perlu perhitungan bisnis atau perencanaan yang rumit. Selama perusahaan masih menghasilkan keuntungan yang diharapkan, strategi dan operasi tidak akan berubah banyak dari waktu ke waktu. Gaya ini sering dipakai untuk perusahaan skala menengah dan kecil dan dikenal sebagai “manajemen warung” karena industri yang sering menggunakan manajemen ini adalah industri distribusi dalam skala kecil dan bukan industri manufaktur, seperti misalnya industri ritel.Jika perusahaan memiliki kesempatan untuk berkembang dan pemilik menghendaki/mampu memodali perkembangan itu, maka dia akan menambah investasi dan mengembangkannya. Kebutuhan sumberdaya akan bertambah mengikuti arah dan tujuan perkembangannya termasuk kebutuhan sumberdaya manusia untuk mengelola kegiatan operasional dan manajemen. Dengan kata lain pada tahapan ini si wirausahawan mulai memasuki gaya manajemen profesional. Di sinilah awal dilema seorang wirausahawan. Di satu sisi, ada keinginan untuk melipat gandakan keuntungan tetapi di sisi lain ada ketakutan dan rasa ketidak-pastian karena dengan gaya manajemen profesional ia harus mulai membagi tanggungjawab dan fungsi-fungsi lainnya di dalam perusahaan. Seorang wirausahawan yang memang memiliki “keberanian” atau “guts” untuk maju akan menggunakan setiap kesempatan “at all costs”, artinya dia akan mengejar kesempatan dengan atau tanpa memperhitungkan risiko-risiko yang ada di hadapannya. (Lihat Artikel: Risiko yang Dihadapi Wirausahawan)Proses AdaptasiSehubungan dengan perubahan gaya manajemen keluarga ke manajemen profesional yang diterapkan oleh perusahaan maka secara otomatis akan terjadi pergeseran kendali dari pemilik kepada para profesional yang dipekerjakan oleh si pemilik. Dalam kenyataan seringkali dijumpai bahwa antara pemilik dan para profesional tidak memiliki kesamaan visi dan titik temu dalam memajukan perusahaan. Para pemilik yang seringkali terlalu bernafsu untuk mengembangkan perusahaannya seringkali merasa kecewa karena meskipun telah mempekerjakan para profesional yang terbaik dan sudah terkenal ternyata tidak banyak membawa angin perubahan yang mengarah pada kemajuan perusahaan. Sebaliknya para profesional yang merasa dirinya sangat kompeten seringkali menjadi bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa karena kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan atau pun visi dari si pemilik. Akhirnya tidak jarang hubungan kerja semacam ini justru berakhir dengan kekecewaan di kedua belah pihak.Tak dapat dipungkiri, para wirausahawan dan profesional memerlukan waktu yang cukup banyak untuk berinteraksi, sehingga di antara mereka ada ikatan kesamaan dalam bekerja. Waktu interaksi ini tidak cukup didapatkan dari proses interview ketika akan masuk kerja tetapi justru banyak diperoleh dari komunikasi informal. Salah satu kesalahan para wirausahawan adalah melalaikan proses ini dan menganggap bahwa para profesional terbaik yang diperkerjakannya sudah akan otomatis mengerti akan keinginan, kebiasaan, dan pola pikir mereka.Sebenarnya ada banyak cara bagi wirausahawan dan profesional untuk saling mengenal sebelum proses hiring difinalkan. Proses alami, tentu saja melalui pertemuan informal seperti makan siang atau hanya sekedar mengobrol biasa. Cara lain yang lebih cepat adalah dengan menggunakan jasa konsultan/ psikolog industri & organisasi yang bisa secara obyektif berfungsi sebagai mediator bagi percepatan ikatan ini. Para konsultan tersebut akan dapat membantu mencari titik temu antara kedua individu tersebut sehingga bisa mempercepat dan memperdalam proses interaksi supaya para profesional tidak terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengenal perusahaan dan para wirausahawan tidak salah memilih profesional yang tepat baginya. Keberadaan konsultan ini akan sangat bermanfaat terutama jika HRD internal perusahaan tidak terlalu kuat. Selain obyektif, seorang konsultan yang memahami masalah-masalah psikologis individu akan mampu menjembatani banyaknya rintangan (terutama menyangkut psychological barriers) yang ada di dalam diri para wirausahawan atau para profesional.Hambatan PsikologisKetidak-mampuan seorang wirausahawan mempekerjakan profesional secara efektif seringkali disebabkan oleh faktor psikologis yang ada dalam diri sang wirausahawan sendiri. Ada banyak masalah psikologis yang menyebabkan seorang wirausahawan tidak mampu mempekerjakan atau bekerja sama dengan profesional. Beberapa di antaranya adalah:Wirausahawan merasa tidak secure dengan dirinya sendiri sehingga ia takut mempekerjakan profesional yang lebih baik atau lebih pintar dari dirinya. Ketakutan itu umumnya berasal dari ketakutan akan kehilangan kekuasaan. Wirausahawan jenis ini memiliki tendensi untuk mempekerjakan profesional lebih berdasarkan loyalitas dan bukan kompetensi. Gaya kepemimpinan yang digunakan juga sangat otoriter untuk melindungi kerentanan dirinya. Dia tidak akan membiarkan para profesional yang dipekerjakan itu nampak lebih pintar atau lebih benar dari dirinya, bahkan sebisa mungkin dia akan sering membuat mereka “mati-kutu” dengan perdebatan-perdebatannya yang kadang-kadang tidak relevan atau ”terkesan mau menang sendiri”. Dalam kondisi demikian, para profesional seakan kehilangan kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri dan memilih untuk tidak mem-provokasi si wirausahawan. Keputusan yang semestinya mampu dibuat oleh para profesional ternyata tetap dipegang oleh si wirausahawan bahkan untuk hal-hal yang terkecil. Laporan diminta bukan untuk dipelajari tetapi untuk memberikan kesan bahwa yang memegang kekuasaan adalah si wirausahawan. Profesional pun menjadi kecil hati dan seringkali kehilangan rasa percaya diri.Masalah lainnya adalah ketakutan dibohongi atau dikhianati oleh profesional sehingga mengakibatkan rendahnya rasa saling percaya antara wirausahawan dengan profesionalnya. Wirausahawan curiga dan para profesional takut dicurigai. Akibatnya, interaksi antara wirausahawan dengan profesional menjadi sangat tidak sehat. Kesalahan demi kesalahan dijadikan “justification” bagi wirausahawan untuk membenarkan kecurigaannya. Di lain pihak, jika seandainya si wirausahawan memutuskan untuk mempercayai seseorang, maka dia akan menjadi sangat percaya pada orang tersebut apalagi jika profesional/manager yang dipekerjakannya menunjukkan “perceived loyalty”. Dalam hal ini kompetensi menjadi elemen nomor ke sekian.Wirausahawan seringkali salah dalam menilai para profesional (false intuition) . Penilaian seorang wirausahawan terhadap orang lain sangat dipengaruhi oleh beberapa keadaan: kemampuan wirausahawan untuk mengobservasi dan menilai secara obyektif, kemampuan memperhitungkan keadaan lingkungan (situational context) yang mempengaruhi tindakan orang lain dan kemampuan menganalisa dan memprediksikan keadaan bisnis di masa datang yang juga turut mempengaruhi perilaku atau pola pikir profesional. Kesalahan wirausahawan, terutama yang belum berpengalaman, adalah menilai dari sudut pandangnya sendiri tanpa menimbang sudut pandang orang lain, sehingga penilaian hanya terjadi sepihak dan subyektif. Jika hal ini didampingi oleh kerendahan hati si wirausahawan, maka profesional akan berani mengemukakan pandangannya. Dan dialog terbuka akan membawa pada keputusan yang lebih efektif. Celakanya, banyak wirausahawan yang merasa pandangannya lah yang paling benar, arogan dan tidak mau menerima pandangan profesional yang dipekerjakannya. Juga tidak mau/mampu menjelaskan alasan mengapa ia memiliki pandangan tersebut. Seringkali kata kunci adalah: "Pokoknya........" Dengan kondisi demikian, lama-kelamaan, para profesional akan menekan keahlian yang dimilikinya dan cenderung hanya menuruti asumsi si wirausahawan.Wirausahawan tidak bisa menghargai para profesional dan menganggap profesional hanyalah salah satu komoditas yang bisa dijual-belikan. Dia bersikap sebagai pembeli dan si profesional tidak lebih dari penjual keahlian. Profesional tidak lagi diterima sebagai manusia dengan derajat yang sama, melainkan mesin yang bisa diperah karena sudah dibeli dan dibayar mahal. Si wirausahawan merasa bahwa profesional yang “dibeli dan dibayar” tidak boleh membantah dan hanya perlu menurut saja.Wirausahawan dengan masalah-masalah di atas membawa dampak buruk pada perusahaan, di antaranya:Tendensi untuk mem-falsifikasi data. Para profesional di beri peluang hanya untuk memberi data yang membuat hati si usahawan ini senang, terutama yang berhubungan dengan illusion of success.Profesional tidak menjadi dirinya sendiri tapi menjadi kepanjangan tangan pemilik. Potensi kepintaran, keahlian dan identitas profesional yang ada menjadi redup di dalam perusahaan tersebut. Kreativitas mandek dan perasaan tidak berguna mulai tertanam sedikit-demi sedikit. Produktivitas menurun dan timbul rasa tidak percaya diri.Profesional menjadi “bonsai-bonsai” yang tidak bisa tumbuh secara alami karena setiap ide atau solusi yang dimilikinya tidak terpakai, padahal kesalahan tidak ada padanya.Profesional merasa dimanipulasi oleh majikannya dan perasaan ini mendorong/memotivasi profesional untuk membalas dengan melakukan tindakan destruktif yang merugikan perusahaan, misalnya penyalahgunaan wewenang, korupsi atau pencurian. Di sisi lain, besar kemungkinan bahwa seorang profesional juga memiliki masalah psikologis yang mampu secara langsung atau tidak langsung mencelakakan perusahaan, si wirausahawan atau diri si profesional itu sendiri. Ada dua kemungkinan di mana keadaan psikologis si profesional dapat membahayakan perusahaan:Pada saat para profesional merasa keahlian mereka pasti benar dan mutlak. Akibatnya mereka menjadi tinggi-hati dan tidak mengerti akan ketakutan atau keraguan si wirausahawan, sehingga mengambil risiko-risiko bisnis tanpa mempertimbangkan apa yang pernah dialami oleh wirausahawan di masa lalu atau keadaan psikologis mereka saat itu. Sikap ini bisa merupakan arogansi keahlian, terutama jika wirausahawan memiliki wawasan atau pendidikan yang lebih rendah, atau merupakan mekanisme pertahanan diri karena profesional tersebut merasa tertekan di dalam pekerjaan mereka. (Baca juga artikel: Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri)Pada saat para profesional merasa takut untuk membuat keputusan karena tidak mampu menghadapi risiko kehilangan atau kesalahan. Rasa tanggung jawab yang begitu besar bisa membuat seorang profesional merasa kecil atau kehilangan rasa percaya diri. Ia juga merasa bahwa kegagalan perusahaan adalah kegagalan pribadinya sendiri. Jika keahliannya tidak melebihi kemampuan untuk mengendalikan risiko-risiko ini, maka dia cenderung untuk tetap bergantung pada keputusan si wirausahawan. Salah satu solusinya adalah meningkatkan kompetensi yang dimilikinya atau menyelesaikan masalah psikologis yang dimilikinya sehingga tidak lagi mempengaruhi kemampuannya berkarya.Beberapa SaranSebagai wirausahawan, beberapa kiat berikut ini mungkin layak Anda pertimbangkan dalam memilih para profesional yang tepat untuk membantu anda mengelola bisnis anda.Sadarilah keadaan psikologis diri sendiri karena itu yang menjadi titik terlemah dalam memilih alternatif solusi dan pembuatan keputusan. Self-awareness akan membuat wirausahawan mampu keluar dari ketakutan-ketakutannya. Konsultasi psikologis bisa dilakukan sebagai dasar atau awal pengenalan diri guna memahami faktor-faktor yang merupakan kelebihan atau pun kekurangan yang dimiliki. (Baca juga artikel: EQ dalam Kepemimpinan & Tanda-tanda Kedewasaan Seorang Pemimpin)Untuk posisi eksekutif puncak yang bergerak di strategic level, carilah mereka yang memiliki visi yang sama, stamina yang prima dan kemampuan analisis yang baik. Jangan kita memilih hanya karena dia punya reputasi yang baik saja, tetapi lebih karena dia memiliki potensi untuk menjadi baik di masa yang akan datang.Untuk posisi profesional di level operasional, sebaiknya di pilih profesional yang keahliannya jauh lebih baik dari pemilik, tapi di samping itu dia juga memiliki kemampuan untuk menyelaraskan keahlian ini dengan visi dan tujuan perusahaan. Salah satu kesalahan wirausahawan adalah membajak profesional yang memiliki track record of success di perusahaan lain tetapi lupa mempertimbangkan bahwa kesuksesan mereka di perusahaan lain sangat tergantung pada kondisi perusahaan itu sehingga ketika dia mesti berkiprah di perusahaan baru dengan kondisi yang lain, itu malah menjadi awal dari kehancuran karir profesional tersebut. Richard Ritti & Ray Funkhouser (1987) dalam buku "The Ropes to Skip & The Ropes to Know" menyebutnya sebagai "The Peter Principle” – mengacu pada karakter kartun Peter Pan yang suka mengejar bayang-bayangnya sendiri dan hanya bermain di dunia fantasy. Julukan ini diberikan pada para profesional yang dipromosikan pada ke sebuah level di mana dia tidak mampu lagi menjadi produktif tetapi malah menjadikan perusahaan play-land di mana dia mengejar bayang-bayangnya (citra, kesuksesan masa lalu, cita-cita).Belajar untuk menghargai profesional sebagai seorang individu yang memiliki kepribadian sendiri disamping keahliannya. Membiarkan profesional yang dipekerjakan menjadi dirinya sendiri berarti membuat potensi dan keahliannya berkembang sehinggga bisa menjadi lebih kreatif dan produktif. Kontrol dan rasa curiga yang berlebihan malah akan mencelakakan kedua-belah pihak.Sehebat atau sepintar apapun seorang profesional, ia tetap akan memerlukan visi atau arah perjalanan perusahaan. Ia juga perlu kejelasan akan batasan kewenangan dan tanggung jawab sehingga ia berani membuat keputusan dan mencari solusi yang tepat. Selain itu, berikan kesempatan untuk mandiri. Seorang profesional sejati tidak akan pernah mampu bekerja jika ia terus didikte, dikontrol atau dicurigai.Sementara bagi para profesional, dibutuhkan sejumlah karakter agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Beberapa karakter yang harus dimiliki tersebut antara lain: Kesadaran bahwa ia tetap profesional dan bukan pemilik. Ia harus mampu mengerti tentang pandangan para pemilik/wirausahawan. Para profesional juga harus bisa mengerti bahwa pemilik memiliki pengalaman, keinginan, cita-cita, dan cara pandang tertentu yang mungkin tidak dimilikinya. Galilah hal-hal ini pada proses adaptasi. Kemampuan untuk menterjemahkan keinginan pemilik, menggunakan keahliannya untuk menyelaraskan dengan keadaan operasional dan membuat keinginan itu terlaksana secara nyata. Hal ini tidak bisa diberikan dengan membuat laporan yang sarat dengan ilusi sukses untuk kepentingan diri sendiri, sebab suatu saat ilusi itu akan terungkap juga. Kasus Enron, Worldcom and Xerox yang akhir-akhir ini marak menghiasi media bisnis terjadi karena mekanisme ini. Dalam kasus-kasus tersebut, profesional hanya peduli pada keinginannya sendiri (mendapat uang sebanyak mungkin) dengan mendongkrak nilai saham dengan manuver akunting yang jelas-jelas menyalah gunakan kepercayaan si pemilik (publik)Mampu menjembatani kesenjangan komunikasi antara pemilik dan bawahan. Para pemilik biasanya melihat bisnis dan perusahaannya dari sisi makro, sedangkan pekerja melihat dari sisi mikro (sebatas pekerjaan dalam departemen atau divisinya sendiri). Eksekutif profesional harus mampu membedakan kedua sisi ini dan mengkomunikasikan sebagian sisi makro pemilik untuk pekerja dan sebagian sisi mikro pekerja pada pemilik sehingga ada saling pengertian di antara kedua sisi ini yang akan termanifestasikan ke dalam kebijaksanaan perusahaan yang memang betul-betul bijak. Dengan demikian, tidak ada lagi persepsi bahwa perusahaan hanya bisa memeras pekerja atau pekerja yang hanya menumpang hidup pada perusahaan.Mampu memberikan alternatif solusi yang tidak dilihat oleh para pemilik. Kelebihan profesional yang diinginkan oleh para pemilik adalah kemampuannya memecahkan masalah dan memberikan solusi. Seringkali, karena beberapa hal para profesional datang kepada pemilik dan memberikan masalah yang dihadapinya tanpa disertai solusi. Fungsi profesional seperti ini hanya merupakan “messenger” saja dan tidak mencerminkan profesionalisme mereka. Pemilik merasa terkecoh, sebab keinginannya dengan mempekerjakan profesional tidak terpenuhi. Dia malah lebih bingung dalam menilai karena mungkin saja pendapat profesional itu tidak sama dengan pendapatnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar